CeritaSyawal Saya & Dia salam aidilfitri maaf zahir & batin pertama syawal tanpa ayah. belajar menguatkan diri. walau masih ada sebak bertamu. masih terbayang gelagat ayah di pagi raya namun bila terpandangkan mak, aku menahan rasa. sebab aku tahu, rindu seorang isteri lebih menebal daripada rindu seorang anak ini. maka jadilah aku si murai
AsalUsul Batu Betangkup KisahAwal Dahulu, ada suatu dusun di Indragiri Hilir, Riau, hiduplah seorang janda tua bernama Mak Minah. Ia tinggal bersama ketiga anaknya. Dua anak laki-laki, bernama Utuh dan Ucin. Sedangkan anak yang ketiga adalah perempuan, bernama Diang. Walaupun sudah tua, Mak Minah masih semangat bekerja keras untuk memenuhi kehidupan ketiga anaknya. Setiap pagi, ia memasak dan mencuci. Setelah pekerjaan rumah selesai, Mak Minah pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar dan dijual ke pasar. Dari hasil inilah yang digunakan untuk memenuhi kebutuhannya. Ketiga anaknya yang masih kanak-kanak sangatlah nakal juga pemalas. Mereka hanya bermain, tidak pernah membantu atau merasa iba pada emaknya yang mulai sakit-sakitan. Bahkan tak jarang mereka membantah nasihat emaknya sampai bersedih. Pada suatu sore, ketiga anaknya asyik bermain didekat rumah mereka. “Utuh, Ucin, Diang… !” teriak Mak Minah. Walaupun sudah mendengar panggilan emaknya, mereka tetap diam saja. “Anak-anakku, Pulanglah! Hari sudah sore,” seru Mak Minah. Ketiganya masih asyik bermain. Tak lama kemudian, Mak Minah memanggil mereka lagi. “Utuh, Ucin, Diang…! Pulanglah! Hari telah gelap. Emak sedang kurang enak badan. Masaklah makan malam!” kata Mak Minah. Karena lemas Mak Minah merebahkan tubuhnya di pembaringan. Tetapi anaknya masihasyik bermain. Mereka tidak menghiraukan seruan Mak Minah. Setelah menunggu lama, ketiga anaknya tidak berhenti bermain. Akhirnya, Mak Minahlah yang memasak, walau badannya lemas. Sesudah makanan siap, Mak Minah kembali memanggil anaknya. “Utuh, Ucin, Diang… ! Pulanglah, Nak! Makan malam sudah Emak siapkan.” Setelah mendengar itu baru mereka berhenti bermain. Lalu, mereka langsung ke dapur dengan lahapnya menghabiskan makanan itu tanpa menyisakan untuk emaknya. selesainya makan, mereka kembali bermain tanpa membantu mencuci piring. Hari semakin malam, sakit Mak Minah pun semakin parah. Badannya lemah dan pegal-pegal karena kelelahan bekerja. “Utuh, Ucin, Diang… ! Tolong pijat Emak, Nak!” minta Mak Minah pada anaknya. Namun, mereka pura-pura tidak mendenga dan terus bermain sampai larut malam. Mak Minah hanya bisa meratapi nasibnya. “Ya Tuhan, tolong hamba! Sadarkanlah ketiga anakku, supaya peduli pada Emaknya yang tak berdaya ini,” do’a Mak Minah seraya menangis. Akhirnya Mak Minah pun tertidur. Keesokan paginya Mak Minah bangun pagi sekali untuk memasak nasi dan lauk yang banyak. Setelahnya, Mak Minah pergi ke tepian sungai dekat gubuknya tanpa memberi tahu anaknya. Ia mendekati sebuah batu bernama batu betangkup yang katanya bisa berbicara dan bisa membuka serta menutup seperti kerang. Tragedi Batu Betangkup Mak Minah berlutut didepan batu itu dan memohon supaya menelan dirinya. “Wahai Batu Batangkup, telan diriku. aku sudah tidak sanggup hidup bersama ketiga anak ku yang tidak mendengar nasihat,” pinta Mak Minah. “Apakah kau tidak akan menyesal, Mak Minah?” tanya Batu Batangkup. “Lalu, bagaimana nasib dari anak-anakmu?” lanjut Batu Batangkup. “Biarkan mereka hidup sendiri tanpa emaknya. Mereka sudah tidak perduli pada emaknya,” jawab Mak Minah. “Baiklah, kalau itu inginkanmu,” jawab Batu Batangkup. Dalam sekejap Batu Batangkup menelan Mak Minah dan hanya menyisakan rambut panjangnya tampak di luar. Ketika hari sudah sore, ketiga anak Mak Minah pulang bermain dan langsung menyantap makanan yang disiapkan Mak Minah. Mereka heran karena emaknya belum pulang. Namun melihat persediaan makanan masih banyak, membuat mereka tidak peduli. Dua hari kemudian, persediaan makanannya sudah habis. Sedangkan Mak Minah belum pulang ke rumah membuat ketiga anaknya kebingungan. Mereka mencari ke sana ke mari tetap tidak menemukan Mak Minah. “Emak, maafkan kami! Kami menyesal tidak peduli pada Emak…,” sesal ketiga anak itu. Paginya, ketiga anak itu kembali mencari emaknya mereka menyusuri sungai sampailah mereka di depan Batu Batangkup. Mereka terkejut ketika melihat rambut emaknya terurai di sela-sela Batu Batangkup. “Wahai, Batu Batangkup! Keluarkan Emak kami dari perutmu. Kami butuh Emak kami,” pinta ketiga anak itu. Tetapi Batu Batangkup diam saja, ketiga anak itu terus memohon supaya emaknya dilepaskan. “Tidak! Kalian hanya membutuhkan emak kalian saat lapar. Kalian tidak pernah membantu serta mendengar nasihat emak kalian,” ujar Batu Batangkup. “Batu Batangkup! Kami berjanji akan membantu emak serta mematuhi nasihatnya,” jawab Utuh sambil menangis. “Iya, Batu Batangkup, kami janji,” tambah Uci dan Diang turut menangis. “Baiklah, emak kalian akan ku keluarkan karena kalian sudah berjanji. Apabila kalian ingkar janji, emak kalian akan kembali kutelan” ancam Batu Batangkup. Setelah emak mereka di keluarkan mereka berkata “Maafkan Utuh, Emak!” “Uci juga, minta maaf Mak! Uci janji akan mematuhi nasihat Emak,” “Iya, Mak! Diang juga minta maaf. Diang janji akan membantu Emak!”. “Sudah, Anakku! Kalian Emak maafkan,” jawab Mak Minah. Setelah itu, mereka pun pulang. Semenjak itu, ketiga anak tersebut rajin membantu Mak Mina bekerja. Utuh dan Uci membantu mencari kayu bakar di hutan untuk dijual. Sedangkan Diang, sibuk menyiapkan makanan dirumah. Mak Minah merasa gembira melihat perubahan anak-anaknya. Tetapi kebahagiaan itu hanya sementara. Perilaku ketiganya pun berubah jadi semakin nakal dan pemalas. Utuh dan Uci tidak lagi membantu mencari kayu bakar. Begitupun Diang, tidak lagi memasak. Mereka semakin berani membantah nasihat emaknya membuta hati Mak Minah sedih. Penyesalan Pada malam hari, Mak Minah memasak nasi dan lauk yang banyak. Karena Mak Minah sudah tidak tahan dengan perilaku anaknya. Saat ketiga anaknya tertidur Mak Minah mencium serta menyelimuti anak-anaknya, lalu ia kembali ke Batu Batangkup. Dengan perasaan sedih Mak Minah berlutut dan memohon pada Batu Batangkup, “Wahai, Batu Batangkup! Telan kembali aku. Mereka sudah tidak menghormatiku lagi,” pinta Mak Minah. Tak lama, Batu Batangkup pun menelan Mak Minah. Keesokan paginya, ketiga anak itu bermain seperti biasa tanpa menghiraukan emaknya yang dikira pergi ke hutan mencari kayu. Menjelang sore, Mak Minah belum pulang juga, mereka sadar telah melanggar janji yang sudah sepakati untuk tidak nakal lagi. Tanpa pikir panjang, ketiga anak itu berlari ke Batu Batangkup. “kami minta maaf, Batu Batangkup! Kami menyesal. Keluarkan emak kami dari perutmu!” pinta ketiga anak itu. “Kalian anak nakal. Kali ini tidakakan aku mmaafkan ” jawabBatu Batangkup kesal. Kemudian BatuBatangkup menelan ketiga anak tubuh ketiga anak itu sudah masuk ke perutnya, Batu Batangkup itu punmasuk dalam tanah. Hingga sekarang Batu Batangkup tidak pernah muncul kembali. Pada jaman dahulu di tanah Gayo, Aceh – hiduplah sebuah keluarga petani yang sangat miskin. Ladang yang mereka punyai pun hanya sepetak kecil saja sehingga hasil ladang mereka tidak mampu untuk menyambung hidup selama semusim, sedangkan ternak mereka pun hanya dua ekor kambing yang kurus dan sakit-sakitan. Oleh karena itu, untuk menyambung hidup keluarganya, petani itu menjala ikan di sungai Krueng Peusangan atau memasang jerat burung di hutan. Apabila ada burung yang berhasil terjerat dalam perangkapnya, ia akan membawa burung itu untuk dijual ke kota. Suatu ketika, terjadilah musim kemarau yang amat dahsyat. Sungai-sungai banyak yang menjadi kering, sedangkan tanam-tanaman meranggas gersang. Begitu pula tanaman yang ada di ladang petani itu. Akibatnya, ladang itu tidak memberikan hasil sedikit pun. Petani ini mempunyai dua orang anak. Yang sulung berumur delapan tahun bernama Sulung, sedangkan adiknya Bungsu baru berumur satu tahun. Ibu mereka kadang-kadang membantu mencari nafkah dengan membuat periuk dari tanah liat. Sebagai seorang anak, si Sulung ini bukan main nakalnya. Ia selalu merengek minta uang, padahal ia tahu orang tuanya tidak pernah mempunyai uang lebih. Apabila ia disuruh untuk menjaga adiknya, ia akan sibuk bermain sendiri tanpa peduli apa yang dikerjakan adiknya. Akibatnya, adiknya pernah nyaris tenggelam di sebuah sungai. Pada suatu hari, si Sulung diminta ayahnya untuk pergi mengembalakan kambing ke padang rumput. Agar kambing itu makan banyak dan terlihat gemuk sehingga orang mau membelinya agak mahal. Besok, ayahnya akan menjualnya ke pasar karena mereka sudah tidak memiliki uang. Akan tetapi, Sulung malas menggembalakan kambingnya ke padang rumput yang jauh letaknya. “Untuk apa aku pergi jauh-jauh, lebih baik disini saja sehingga aku bisa tidur di bawah pohon ini,” kata si Sulung. Ia lalu tidur di bawah pohon. Ketika si Sulung bangun, hari telah menjelang sore. Tetapi kambing yang digembalakannya sudah tidak ada. Saat ayahnya menanyakan kambing itu kepadanya, dia mendustai ayahnya. Dia berkata bahwa kambing itu hanyut di sungai. Petani itu memarahi si Sulung dan bersedih, bagaimana dia membeli beras besok. Akhirnya, petani itu memutuskan untuk berangkat ke hutan menengok perangkap. Di dalam hutan, bukan main senangnya petani itu karena melihat seekor anak babi hutan terjerat dalam jebakannya. “Untung ada anak babi hutan ini. Kalau aku jual bias untuk membeli beras dan bisa untuk makan selama sepekan,” ujar petani itu dengan gembira sambl melepas jerat yang mengikat kaki anak babi hutan itu. Anak babi itu menjerit-jerit, namun petani itu segera mendekapnya untuk dibawa pulang. Tiba-tiba, semak belukar di depan petani itu terkuak. Dua bayangan hitam muncul menyerbu petani itu dengan langkah berat dan dengusan penuh kemarahan. Belum sempat berbuat sesuatu, petani itu telah terkapar di tanah dengan tubuh penuh luka. Ternyata kedua induk babi itu amat marah karena anak mereka ditangkap. Petani itu berusaha bangkit sambil mencabut parangnya. Ia berusaha melawan induk babi yang sedang murka itu. Legenda Batu Belah Batu Betangkup Suatu hari ketika musim kemarau, ladang kecil yang dimiliki petani tersebut sangat kering dan tidak membuahkan hasil. Ayah Bu, kita sudah tak ada uang. Ladang kering kerontang. Apa yang harus kita lakukan untuk menyambung hidup? Ibu Bagaimana kalau kambing yang kita ternak dijual saja Yah? Ayah Tapi kan kambing-kambing itu sangat kurus, tidak akan laku mahal di pasar, Bu. Ibu Nanti coba minta tolong Sulung untuk menggembala kambing ke padang rumput supaya cepat gemuk ya Yah. Ayah Iya Bu. Ayah segera memanggil Sulung. Ayah Sulung, tolong kamu beri makan kambing-kambing kita di padang rumput ya. Persediaan uang sudah menipis, sedangkan ladang kita sedang sangat kering. Sulung Tidak mau! Ibu Kenapa, Sulung? Tolonglah bantu Ayah dan Ibu. Ayah Iya, nak. Rencananya kambing akan Ayah jual di pasar untuk pemasukan kebutuhan kita. Tak lama kemudian Sulung mau menggembala dua ekor kambing yang dimikili Ayahnya. Namun tak sampai di padang rumput yang dituju, Sulung memutuskan untuk tidur di bawah sebuah pohon hingga sore. Dan ketika bangun, kambing yang dititipkan Ayahnya sudah raib entah ke mana. Tanpa rasa bersalah, Sulung tak menjelaskan kejadian sebenarnya. Ayah Kambing-kambing kita di mana, Sulung? Kok tidak ada? Sulung Tadi hanyut di sungai! Ayah Apa? Hanyut? Yaampun bagaimana ini? Kenapa bisa hanyut? Ayah sangat kecewa pada Sulung yang tidak bisa diandalkan, padahal semua hal yang dimintanya adalah demi kepentingan hidup bersama-sama, yaitu demi kebutuhan pangan. Kesedihanpun dirasakan Ibu yang selalu bersedia untuk mencari tambahan penghasilan untuk keluarga. Tanpa pikir panjang, Ayah segera berangkat ke hutan untuk melihat perangkap yang sengaja dipasang untuk menjerat hewan yang ada di sekitar hutan. Ayah Wow ternyata aku dapat! Seekor anak babi hutan, pasti akan laku dijual di pasar. Lumayan untuk membeli kebutuhan makanan selama seminggu! Dengan rasa gembira, Ayah melepas jeratan yang ada pada kaki hewan tersebut dan membawanya pulang. Namun hal tak terduga terjadi sebelum ia keluar dari hutan. Ia diserang dua ekor induk babi yang penuh amarah melihat anak mereka ditangkap. Serangan babi hutan tersebut tak kuasa tertahan sehingga Ayah sulung terkapar tak berdaya namun tetap mencoba melakukan serangan balik pada hewan liar tersebut. Tetapi usahanya tak membuahkan hasil, justru ia dikejar kawanan babi hutan hingga ke sungai. Sungguh naas nasibnya, ia tewas ketika melompati bebatuan karena terjatuh dan kepalanya membentur sebuah batu. Sementara itu, Ibu sedang memarahi Sulung yang tega membuang beras terakhir yang tersedia di rumah dengan rasa sedih yang tidak terbendung. Ibu Sulung! Kamu ini apa-apaan? Selalu bikin susah orang tua! Seenaknya saja kamu buang beras untuk makan ke dalam sumur?! Lelah memarahi Sulung, Ibupun meminta tolong agar Sulung mengambil periuk tanah liat di belakang untuk dijual ke pasar. Ibu Yasudah Sulung, tolong Ibu ambil periuk tanah di belakang. Akan Ibu jual ke pasar, tolong jaga adik karena Ayah belum pulang ke rumah. Sulung Untuk apa aku ambil periuk dan menjaga si Bungsu?!!! Aku jadi tidak bisa main! Mending aku pecahkan saja periuk ini!!!! Tak disangka periuk hasil buatan Ibu dipecahkan begitu saja oleh anak nakal yang satu ini. Sungguh keterlaluan dan membuat hati Ibu hancur berkeping-keping layaknya periuk yang sudah pecah itu. Ibu Suluuuung….. Apa kamu tidak tahu, kita butuh makan. Kenapa kamu pecahkan periuk itu? Padahal itu adalah satu-satunya sisa harta yang kita punya. sambil meneteskan air mata Sungguh terlalu, Sulung justru membentak Ibunya dengan nada tinggi yang tak terkira. sikap Sulung itu sangat keterlaluan pada Ibunya. Ia tak sadar bahwa suatu saat nanti penyesalan dan penderitaan pasti akan ia alami jika sang Ibu sudah tiada. Sementara itu, Bungsu yang baru satu tahun hanya bisa menyaksikan kesedihan mendalam pada Ibunya. Jika sudah sebesar Sulung, mungkin adiknya itu akan berinisiatif untuk menolong Ibunya. Tak lama kemudian, salah satu tetangga datang di tengah kekacauan dalam rumah itu. TetanggaBu, saya ingin menyampaikan informasi bahwa suami Ibu ditemukan sudah tak bernyawa di tepi sungai. Saya beserta warga yang lain turut berduka cita sedalam-dalamnya atas kepergian Almarhum. Ibu Innalillahi wainailaihi rajiun… semakin tersedu mendengar kabar buruk tersebut Namun tak nampak raut wajah kesedihan dari wajah Sulung. Ia justru berpikir bahwa tanpa Ayahnya, ia berarti bebas karena tidak ada yang menyuruh-nyuruhnya lagi. Ibu Sulung… Ibu tak sanggup lagi hidup di dunia ini. Ibu sangat sedih melihat perilaku kamu. Tolong jaga Bungsu, Ibu mau menyusul Ayahmu… Ibu Sulung pergi menuju sebuah batu yang disebut Batu Belah tempat suaminya terjatuh dan meninggal. Kemudian iapun bersenandung sambil berjalan menuju batu tersebut… “Batu belah batu bertangkup. Hatiku alangkah merana. Batu belah batu bertangkup. Bawalah aku serta.” Angin sesaat bertiup kencang dan membuat Ibu Sulung terperangkap di Batu Belah yang tidak bisa terbuka kembali untuk selamanya. Menyadari Ibunya telah tiada, Sulungpun sangat menyesal. Sulung Ibuuuuu!!!! Maafkan aku!!! Ibu kembalilah, Buuu!!!! Aku menyesaaal!!! Ibuuuu!!!! Sambil merintih dan terus menerus memohon Ibunya kembali, usaha Sulung tetap sia-sia. Batu Belah kini tertutup dan ia tak akan bisa bertemu Ibunya. Itulah salah satu contoh naskah drama cerita rakyat eg. Cerita legenda yang menceritakan tentang akibat perbuatan anak yang durhaka pada kedua orang tuanya. Penyesalan di akhir hanyalah sesuatu yang sia-sia dan tak bisa mengembalikan semua situasi terdahulu yang pernah ia perbuat. Sungguh sebuah legenda yang mengajarkan tentang pentingnya sikap santun pada orang tua yang wajib dilakukan semua anak di dunia. Naskah Drama Betangkup Belah Cerita Rakyat Sambas “BATU BALLAH BATU BETANGKUP” Jaman gek dolok di sebuah kampong yang bename pemangkat yang bedakatan dengan gue ajaib iye, tinggal Mak Tanjung bersame duak orang anaknye. Melur dan Pekan name anaknye. Mak Tanjung sadeh karne barok keilangan lakinye dan tepakse menjage keduak anaknye dangan keadaan yang marek, pade waktu dolok ade sebuah gue ajaib di daerah Sambas. Gue iye digelarek batu ballah batu betangkup dan ditakutek same penduduk kampong. Pintu gue iye tebukak dan tetutup bile dipanggel dan siapepun yang masok dalam gue iye daan dapat keluar agek. Pade suatu hari, Mak Tanjung kemponan nak makan talok tembakol. Die pun pagi ke sungai untok menangkapnye. Kenagek suke atinye dapat sekok ikan tembakol. “Wah, basar inyan ikan yang mak dapat tok ee !” jinye Pekan kesukean. “Iye, itok ikan tembakol namenye. Umak rase ikan itok ade taloknye. Udah lamak umak kemponan nak makan talok ikan tembakol itok.” Jinye Mak Tanjung Lakak iye Mak Tanjung nyiangek ikan tembakol iye. Die pun barekkannye ke Melur untok dimasakek gulai. “Masakkek gulai ikan dan goreng talok ikan tembakol iye. Umak nak ke utan carek kayu dolok. Mun umak lamak balik, Melur makan dolokan same_same Pekan. Tapi, usah lupak nyisakan talok ikan tembakol untok umak.” Pasan Mak Tanjung dangan Melur. Udah lakak masak gulai ikan tembakol, Melor goreng talok ikan tembakol agek. Die pun nyimpankan sikit talok tembakol iye di dalam bakol untok umaknye. Melur dan Pelan nunggu sampai tangah hari tapi umaknye daan balik-balik juak. Pekan dah mulai menangis karne kelaparan. Melur pun nyiapek nasek, talok ikan tembakol dangan gulai ikan tembakol untok dimakan lah Pekan. “Hmm… nyaman lalu talok ikan itok,” Jinye Pekan sambilan menikmatek talok ikan goreng iye. “Eh Pekan, usah nak makan talok ikan tolen, makanlah juak nasek dangan gulai ee” jinye Melur ngomong dengan Pekan. “Kakak, talok ikan dah abis, mintaklah Pekan agek. Baloman puas rasenye makan talok ikan tembakol itok.” Jinye Pekan mintak dengan Melur. “Eh, talok ikan iye daan banyak. Nah, ambeklah bagian kakak yo.” Jinye Melur. Pekan pun makan talok ikan punyak kakaknye iye tanpe befikir agek. Nyaman inyan rase talok ikan tembakol iye ! lakak abis talok ikan dimakannye, Pekan mintak agek. “Kak, Pekan nak mintak agek talok ikannye,” jinye Pekan mintak dengan Melur. “Eh, mane ade agek ! Pekan makan ajak nasek dangan gulai ikan ee. Agekpun, talok ikan yang sisak iye untok umak. Umak kan dah pasan dangan kakak untok nyisakan sikit talok ikan untok umak,” jinye Melur. Tapi, Pekan tatap makse dan menangis tolen. Melur pun bujok die tapi Pekan tatap menangis. Tibe-tibe, Pekan becacak dan ngambek talok ikan yang disimpan lah Melur untok umaknye. “Hah, rupenye ade agek talok ikan !” Jinye Pekan kesukean. “Pekan ! Usah nak makan talok iye ! Kakak nyimpannye untok umak,” jinye Melur. Tapi, Pekan daan dulikan omongan kakaknye Melur dan makan talok ikan iye sampai abis. Daan lamak, Mak Tanjung pun balik. Melur pun menyiapkan makanan untok umaknye. “Mane talok ikan tembakol, Melur ?” tanyak Mak Tanjung “Hm… Melur ade nyisakkan buat umak, tapi Pekan dah ngabiskannye, Melur dah melarangnye tapi…” “Jadi, sian sikit pun buat umak agek ?” tanyak Mak Tanjung. Melur daan jawab karne merase besalah. Die sadeh ngeliat umaknye yang gaye karne daan dapat nak makan talok ikan tembakol. “Mak, sebanarnye kemponan inyan nak makan talok ikan tembakol iye, tapi…” sadeh rasenye ati Mak Tanjung karne kecewa dangan kelakuan anaknye Pekan ee. Mak Tanjung meliat Melur dan Pekan dangan panoh kesadehan lalu bejalan nuju ke utan. Atinye betambah pilok mun menganang arwah lakinye dan merase direknye daan disayangek agek. Anak-anaknye daan nyayangek die agek karne dah melukaek atinye Mak Tanjung. Melur dan Pekan ngajar umaknye dari belakang. Anaknye beteriak sambil menangis bujok umaknye biar balik. “Mak. Usah tinggalkan Pekan ! Pekan minta maaf mak ! jinye Pekan. Melur ikut menangis dan beteriak, “Mak kasihanek kamek mak !. Melur dan Pekan takut kalu-kalu umaknye merajok dan pagi ke gue batu ballah batu betangkup. Melur dan Pekan becacak untok magek Mak Tanjung. Tapi, Melur dan Pekan dah telambat. Mak Tanjung daan dulikan bujokkan Melur dan Pekan, lakak iye die pun manggel gue batu ballah batu betangkup biar di bukakkan pintu. Mak Tanjung pun melangkahkan kaki masok ke pintu gue ajaib dan pintunye pun tetutup. Melur dan Pekan menangis tesadok-sadok didapan gue batu ballah batu betangkup, tapi umaknye daan nampak juak. Dan kin itok tempat iye disabut Tanjung Batu yang telatak di Kecamatan Pemangkat untok menganang cerite iye dan juak di Sambas dikannal lagu “Batu Ballah”. demikianlah artikel dari mengenai Asal Usul Batu Betangkup Kisah, Tragedi, Cerita, Legenda, Naskah Drama, Gambar, semoga artikel ini bermanfaat, semoga artikel ini bermanfaat bagi anda semuanya.
CeritaBatu Belah Batu Bertangkup. Ia tinggal dengan kedua anaknya. Mak tanjung tinggal bersama anaknya melur dan pekan. Batu Belah Batu Bertangkup New Version from anak ketiganya seorang perempuan, bernama diang. Pulang ke rumah, melur disuruh menyiang ikan itu untuk dibuat lauk. Gua ini digelar batu belah batu
Batu Belah, Batu Bertangkup The Devouring Rock January 20 - February 26, 2022 168 Suffolk Street, New York, NY 10002 Description Trotter&Sholer is excited to open our 2022 program with Azzah Sultan’s second solo exhibition. Batu Belah, Batu Bertangkup The Devouring Rock, explores and re-interprets the Malaysian folktale by the same name. Sultan’s work navigates ideas of domesticity and prescribed roles of mother and daughter within families and marriage. She is interested in craft and women in the context of de-colonisation and contemporary art. Batu Belah, Batu Bertangkup tells the story of a widowed mother who lives with her daughter and son. One morning the mother catches a Tembakul mudskipper fish full of delicious roe. She asks her daughter to cook the fish and save some roe for her. Her young son, however, is unable to resist temptation and eats his mother’s portion. When she returns to find that her son has eaten her fish and roe, and that her daughter has failed to stop him, she is distraught. Her daughter pleads for forgiveness, but her children’s perceived selfishness causes her to flee to a nearby hill where she throws herself against the side of a rock that consumes her leaving her two children without parents. The story offers a warning to children to keep their promises and be sensitive to the hardships of their parents. Sultan’s reframing of this story in six intricate patterned oil paintings with hand stitched fabric elements reimagines the events from the perspective of the daughter. Fairy and folk tales often present mothers and daughters as reflections of each other or as rivals. These tropes serve to cement women into their social places. For Sultan, this story has been about the responsibilities placed on girls and young women, and she strives to take a more critical approach to the narrative. She notes, “often in fairy tales and myths the mother daughter relationship is troubled, the mother figure is either the villain or the comfort. In Batu Belah, this is more complex, the mother is experiencing her own trauma, which is reflected through her actions and she unknowingly shifts responsibility to her daughter.” Sultan’s decision to obscure the character’s faces with hand painted batik patterns give them a sense of universality. Sultan expresses the emotions of each woman through their hands and uses their hair as a representation of their emotional state and identity. In the final painting, Not my burden to bear., we see a release and freedom and for the first time see her from the front, providing a powerful view of the full batik flower pattern Sultan placed at the center of the face. Incorporating these patterns was important to Sultan, who has an ongoing interest in craft, textiles, and traditional artistic medium. For Sultan, using loaded patterns as way to push back against the relegation of cultural, religious art or traditionally feminine crafts being to “low” art and to pull them out of the margins to the center of the contemporary art world. Trotter&Sholer is pleased to present Batu Belah, Batu Bertangkup The Devouring Rock, on view at 168 Suffolk Street, through February 26, 2022. Chenderamatabintang. Buku ini adalah buku yang ketiga yang diterbitkan semenjak menggunakan nama 'Chenderamata Bintang' sebagai buku tahunan. Ia memuatkan rencana-rencana tentang kehidupan para bintang-bintang yang terkenal pada tahun 1959. application/pdf, 13.32 MB, 96 p., v. : ill. Kakak akan bercerita dongeng tentang legenda atu belah atu bertangkup. Pada kisah ini terlihat bahwa cinta kasih seorang Ibu tidak ada batasnya. Seorang Ibu mau mengorbankan dirinya untuk keselamatan dan kebahagiaan anak-anaknya. Dongeng Tentang Legenda Atu Belah Atu Bertangkup merupakan cerita rakyat dari Nangroe Aceh Darussalam. Cerita rakyat nusantara ini sangat terkenal di Nangroe Aceh Darussalam, dan dikisahkan dari mulut ke mulut. Penasaran dengan cerita lengkapnya? Yuk kita ikuti bersama. “Bu, aku pergi berburu dulu. Siapa tahu hari ini aku mendapat rusa untuk makanan anak-anak kita,” kata seorang pria pada istrinya. Istrinya mengangguk. “Berhati-hatilah, jangan sampai terluka,” jawabnya. Keluarga itu tinggal di sebuah desa di Tanah Gayo, Aceh. Mereka dikaruniai dua anak yang masih kecil. Mereka amat miskin, sehingga kadang dalam sehari mereka tak bisa makan dengan layak. Untuk persediaan makan, kadang sang Ayah menangkap belalang yang banyak berkeliaran di kebun. Belalang itu lalu disimpan dalam lumbung, bersama persediaan padi mereka. Sang Ayah selalu mengingatkan istrinya untuk selalu menutup pintu lumbung. Jangan sampai belalang-belalang yang ia kumpulkan dengan susah payah itu terbang keluar. Setelah sang Ayah pergi, si Ibu pun bermain-main dengan kedua anaknya. Anaknya yang sulung sudah agak besar, sedangkan yang kecil masih belajar berjalan. Hari semakin siang, tapi Ayah tak kunjung pulang. “Bu… aku lapar,” rengek si Sulung. “Tunggulah sebentar lagi, Nak. Ayahmu akan segera pulang membawa daging rusa. Kita bisa makan sepuasnya.” jawab Ibu. Si Sulung pun diam. Dalam hati ia berharap, semoga perkataan ibunya benar. Dongeng Tentang Legenda Atu Belah Atu Bertangkup Namun setelah lama menunggu, Ayah tak kunjung pulang. Si Sulung merengek lagi, “Bu… aku benar-benar lapar. Gorengkan saja beberapa belalang untukku.” Ibu menuruti permintaan anaknya itu. Ia sudah hampir beranjak ke lumbung untuk mengambil belalang, tiba-tiba si Bungsu menangis. Rupanya si Bungsu ingin menyusu. Sambil memangku anak bungsunya, Ibu berkata pada si Sulung, “Ambillah beberapa belalang agar Ibu goreng. Jangan lupa untuk menutup pintu lumbungnya, ya.” Si Sulung segera menuju lumbung. Kriiettt…. suara pintu lumbung dibuka. Dengan hati-hati ia melangkah dan mulai mencari belalang yang bersembunyi. “Aha… itu mereka,” teriaknya ketika melihat beberapa belalang be terbangan. “Hap… hap… hap…” dengan sigap si Sulung berusaha menangkap belalang itu. Namun aneh, beberapa saat kemudian, belalang-belalang itu sudah tak tampak lagi. Si Sulung heran, kemana belalang-belalang itu? Bukankah tadi mereka masih terbang di sini? Jantung si Sulung berdegup kencang. Pintu lumbung terbuka lebar! Ia lupa menutup pintu. “Aduh… mengapa aku begitu bodoh? Sekarang belalangnya kabur semua, Ayah dan Ibu pasti akan memarahiku.” Si Sulung terduduk lemas. Ia tak berani pulang ke rumah. Di rumah, Ibu menunggu si Sulung. “Mengapa lama sekali? Ada apa dengannya?” tanya Ibu dalam hati. Ibu kemudian menyusul ke lumbung. Dilihatnya pintu lumbung terbuka dan tampak si Sulung sedang duduk menangis.”Ada apa, Nak?Apa yang terjadi?” tanya ibunya cemas. “Belalang-belalang kita terbang keluar semua, Bu. Aku lupa menutup pintunya,” jawab si Sulung sambil terus terisak. Ibunya menghela napas. Suaminya pasti akan marah besar mengetahui hal ini. Namun semuanya sudah terjadi. Waktu tak bisa diputar kembali. “Sudah… sudah… ayo kita pulang. Biar Ibu yang menjelaskan pada Ayah.” Sesampainya di rumah, Ibu menyuruh si Sulung untuk makan. Hanya nasi saja, tanpa lauk pauk. Sambil memandangi kedua anaknya ia terus berpikir, apa yang akan ia katakan pada suaminya. Sore harinnya Sang suami pulang dengan wajah lesu. Ia tak membawa sedikit pun hasil buruan. Sambil menyeka keringat Ayah berkata, “Hari ini kita tidak beruntung Bu. Aku tidak mendapatkan apa-apa. Jangankan rusa, tikus pun tak terlihat olehku.” “Lagi-lagi hari ini kita harus makan belalang,” gumam si Agah. Ibu dan si Sulung saling berpandangan. Dengan berhati-hati si Ibu berkata, “Maafkan aku, Yah. Tadi waktu mengambil beras di lumbung, aku lupa menutup pintunya. Semua belalang itu kabur, jadi aku tak bisa memasaknya. Hari ini kita hanya bisa makan nasi tanpa lauk.” Ya, Ibu berbohong untuk menutupi kesalahan si Sulung. Ia tak ingin suaminga memarahi anaknya. Mendengar hal itu, Ayah langsung naik pitam. “Apa? Bukankah sudah seribu kali kukatakan jangan lupa menutup pintu lumbung?” teriaknya. “Benar Yah, tapi aku benar-benar lupa. Maafkan aku,” kata Ibu lagi. “Maaf? Seharian aku mencari makanan untuk keluarga kita, dan kau bahkan tak bisa menjaga belalang-belalang itu.” Tiba-tiba Ayah berdiri dan masuk ke kamar. Ia mengeluarkan semua baju dan kain Ibu. “Keluar kau dari rumah ini. Aku tak sudi punya istri yang tak bisa menjaga kepercayaanku!” usirnya. Si sulung terkejut. Ibu pun terkejut. “Mengapa Ayah tega mengusir Ibu? Ibu kan sudah minta maaf?” tanya si Sulung sambil menangis. “Tak usah membela ibumu, “Nak. Dia tidak layak menjadi ibumu.” jawab Agah. Hati perempuan itu sangat sakit mendengar kata-kata suaminya. Ia tak menyangka suaminya akan mengusirnya begitu saja. Namun ia tahu benar tabiat suaminya. Jika suaminya sudah berkata begitu, maka itulah yang harus terjadi. Sambil memunguti baju dan kainnya, si Ibu pamit pada kedua anaknya. “Maafkan Ibu, Nak. Ibu harus keluar dari rumah ini. Jaga diri kalian, ya?” katanya sambil mencium kedua buah hatinya. Ia berjalan tak tentu arah dan akhirnya tiba di depan sebuah batu besar yang dikenal dengan nama Atu Belah. Atu Belah adalah batu yang bisa terbelah dan menelan orang yang mendekatinya dalam keadaan sedih. Batu ini tidak menyukai orang yang bersedih. Sayangnya, si Ibu tidak mengetahui hal tersebut. Ia malah duduk di depan batu itu sambil meratapi nasibnya. Tiba-tiba, Bumi bergetar. Batu besar itu bergerak-gerak, kemudian kraakk… batu itu terbelah dua. Tanpa sempat menyadari apa yang terjadi, si Ibu sudah tertelan oleh si Atu Belah. “Ibuu… jangan tinggalkan kami… kembalilah Bu…” tiba-tiba terdengar teriakan si Sulung. Rupanya, diam-diam ia dan adiknya mengikuti Ibu. Tapi mereka terlambat, ibu mereka sudah ditelan Atu Belah. Si Sulung menangis dan menyesali kecerobohannya. Ia merasa bersalah telah menyebabkan ibunya bernasib demikian. Sambil menggendong adiknya, ia mendekati Atu Belah itu. Ia mengusap-usapnya dan berkata, “Semoga Ibu bahagia… aku sungguh menyesal telah menyusahkan Ibu. Doakan kami, supaya bisa bertahan tanpa Ibu.” Tiba-tiba dari dalam batu muncullah beberapa helai rambut Ibu. Si Sulung yakin, Ibu sengaja memberikan rambutnya untuk melindungi anak- anaknya. Si Sulung memetik tujuh lembar rambut ibunya dan menjadikannya jimat. Jimat itu ia gunakan untuk melindungi dirinya dan adiknya dari segala bahaya. “Selamat tinggal, Ibu….” Pesan moral dari Dongeng Tentang Legenda Atu Belah Atu Bertangkup adalah dengarkan nasihat kedua orangtua. Jika kamu berbuat salah, segeralah meminta maaf pada mereka. Kasih ibu sepanjang masa, ia pasti mengampuni kesalahan kita. Berlaku sebaliknya ketika kita melihat kesalahan orang lain, berjiwa besarlah untuk memaafkan. .
  • q0je3bb6nd.pages.dev/433
  • q0je3bb6nd.pages.dev/293
  • q0je3bb6nd.pages.dev/320
  • q0je3bb6nd.pages.dev/91
  • q0je3bb6nd.pages.dev/230
  • q0je3bb6nd.pages.dev/302
  • q0je3bb6nd.pages.dev/80
  • q0je3bb6nd.pages.dev/131
  • cerita batu belah batu bertangkup